

Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Ditjen PAUD Dasmen) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan komitmen memperkuat budaya antikorupsi melalui sosialisasi gratifikasi yang digelar di Jakarta, Kamis, 6 November 2025. Kegiatan ini menjadi bagian dari penguatan pengawasan internal serta tindak lanjut Rencana Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (RAN-PK).
Kepala Bagian Keuangan dan Umum, Setditjen PAUD Dasmen, Any Sayekti, menyampaikan bahwa pencegahan korupsi tidak cukup mengandalkan regulasi atau penindakan, tetapi membutuhkan pemahaman kolektif dan kebiasaan yang konsisten dalam pelayanan publik. Ia menekankan bahwa kompleksitas layanan pendidikan—yang melibatkan ASN, masyarakat, sekolah, vendor, dan orang tua siswa—menjadikan kewaspadaan terhadap gratifikasi sebagai prioritas.
“Kita ingin memastikan seluruh pegawai memahami apa itu gratifikasi, bentuknya, dan bagaimana prosedur pelaporannya. Ini bukan hanya soal mematuhi aturan, tetapi memperkuat etika pelayanan publik yang menjadi identitas kita,” ujarnya.
Ani menambahkan bahwa setiap satuan kerja memiliki kondisi berbeda, namun nilai integritas harus tetap seragam. “Itu yang ingin kami capai,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen PAUD Dasmen, Eko Susanto, menyoroti hasil Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 dari KPK yang menunjukkan masih adanya dimensi internal yang dinilai waspada dan rentan. Temuan ini, kata Eko, menjadi peringatan bagi pemangku kepentingan pendidikan untuk memperbaiki tata kelola secara serius.
“Ini alarm bagi kita. Kita memegang amanah besar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, dan survei tersebut memberi sinyal bahwa masih ada area yang harus dibenahi,” tegasnya.
Eko menekankan bahwa integritas bukan jargon birokrasi, melainkan fondasi kualitas layanan pendidikan. Ia meminta para pimpinan satuan kerja memastikan implementasi nilai antikorupsi berjalan nyata dalam keseharian pegawai—mulai dari disiplin dokumentasi, objektivitas dalam pengambilan keputusan, hingga keberanian menolak pemberian tidak semestinya.
“Kita ingin budaya integritas mengalir dari pimpinan ke staf hingga menjadi norma bersama,” ujarnya. Ia menyebut sosialisasi ini sebagai ruang refleksi sekaligus komitmen memperbaiki tata kelola ke depan.
Dalam sesi berikutnya, Muhammad Indra Furqon, Widyaiswara Ahli Madya dari Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) memberikan paparan tentang definisi gratifikasi, bentuk-bentuknya, risiko hukum, serta contoh kasus yang relevan di sektor pendidikan. Ia menegaskan bahwa edukasi ini bukan untuk menakut-nakuti ASN, melainkan memberi kejelasan.
“Salah satu alasan laporan gratifikasi rendah adalah karena banyak ASN belum memahami apa itu gratifikasi dan bagaimana proses pelaporannya,” katanya.
Furqon menjelaskan bahwa gratifikasi mencakup semua bentuk pemberian terkait jabatan ASN—uang, barang, fasilitas, bahkan makanan ringan—tanpa melihat nilai. Ia juga menyinggung fenomena pemberian hadiah saat pengambilan rapor murid sebagai bentuk gratifikasi bila terjadi setelah nilai diumumkan.
Lebih jauh, ia memaparkan konsep fraud triangle yang terdiri dari tekanan, kesempatan, dan pembenaran sebagai akar penyebab penyimpangan. Menurutnya, integritas adalah benteng utama mencegah pelanggaran.
“Yang kita bangun adalah kewaspadaan dan kesadaran, bukan ketakutan. Integritas adalah benteng pertama dan terbaik,” tegasnya.
Sosialisasi diakhiri dengan ajakan memperkuat komitmen bersama menuju tata kelola yang lebih bersih, akuntabel, dan berorientasi pelayanan publik.*

